Rabu, 30 Desember 2009

Keutamaan membaca sholawat kepada nabiyullah muhammad saw

Definisi dan Keutamaan Membaca Shalawat

Published by Syafii on March 21, 2009 11:26 am under Mencintai Rasullullah dan Ahlul Bait

Kita senantiasa memanjatkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Rasulullah:

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya. (QS Al-Ahzab 33: 56)

Shalawat dari Allah berarti rahmat. Bila shalawat itu dari Malaikat atau manusia maka yang dimaksud adalah doa.

Sementara salam adalah keselamatan dari marabahaya dan kekurangan.

Tidak ada keraguan bahwa membaca shalawat dan salam adalah bagian dari pernghormatan (tahiyyah), maka ketika kita diperintah oleh Allah untuk membaca shalawat -yang artinya mendoakan Nabi Muhammad- maka wajib atas Nabi Muhammad melakukan hal yang sama yaitu mendoakan kepada orang yang membaca shalawat kepadanya. Karena hal ini merupakan ketetapan dari ayat:

فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Maka lakukanlah penghormatan dengan penghormatan yang lebih baik atau kembalikanlah penghormatan itu. (QS. An Nisa’: 86)

Doa dari Nabi inilah yang dinamakan dengan syafaat. Semua ulama telah sepakat bahwa doa nabi itu tidak akan ditolak oleh Allah. Maka tentunya Allah akan menerima Syafaat beliau kepada setiap orang yang membaca shalawat kepadanya.

Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan membaca shalawat kepada Nabi. Diantaranya:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ

Barangsiapa berdoa (menulis) shalawat kepadaku dalam sebuah buku maka para malaikat selalu memohonkan ampun kepada Allah pada orang itu selama namaku masih tertulis dalam buku itu.

مَنْ سَرَّهُ أنْ يُلْقِى اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ رَاضٍ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ

Barangsiapa yang ingin merasa bahagia ketika berjumpa dengan Allah dan Allah ridlo kepadanya, maka hendaknya ia banyak membaca shalawat kepadaku (Nabi).

مَا أكْثَرَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِيْ حَيَاتِهِ أَمَرَ اللهُ جَمِيْعَ مَخْلُوْقَاتِهِ أنْ يَسْتَغْقِرُوا لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

Barangsipa membaca shalawat kepadaku di waktu hidupnya maka Allah memerintahkan semua makhluk-Nya memohonkan maaf kepadanya setelah wafatnya.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ثُمَّ تَقًرَّقُوْا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَصَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ إلَّا قَامُوْا عَنْ أنْتَنَ مِنْ حِيْفَةٍ

Mereka yang berkumpul (di suatu majlis) lalu berpisah dengan tanpa dzikir kepada Allah dan membaca shalawat kepada nabi, maka mereka seperti membawa sesuatu yang lebih buruk dari bangkai.

Para ulama sepakat (ittifaq) diperbolehkannya menambahkan lafadz ‘sayyidina‘ yang artinya tuan kita, sebelum lafadz Muhammad. Namun mengenai yang lebih afdhol antara menambahkan lafadz sayyidina dan tidak menambahkannya para ulama berbeda pendapat.

Syeikh Ibrahim Al-Bajuri dan Syeik Ibnu Abdis Salam lebih memilih bahwa menambahkan lafadz sayyidina itu hukumnya lebih utama, dan beliau menyebutkan bagian ini melakukan adab atau etika kepada Nabi. Beliau berpijak bahwa melakukan adab itu hukumnya lebih utama dari pada melakukan perintah (muruatul adab afdholu minal imtitsal) dan ada dua hadits yang menguatkan ini.

Yaitu hadits yang menceritakan sahabat Abu Bakar ketika diperintah oleh Rasulullah mengganti tempatnya menjadi imam shalat subuh, dan ia tidak mematuhinya. Abu bakar berkata:

مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يَتَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ

Tidak sepantasnya bagi Abu Quhafah (nama lain dari Abu Bakar) untuk maju di depan Rasulullah.

Yang kedua, yaitu hadits yang menceritakan bahwa sahabat Ali tidak mau menghapus nama Rasulullah dari lembara Perjanjian Hudaibiyah. Setelah hal itu diperintahkan Nabi, Ali berkata

لَا أمْحُو إسْمَكَ أَبَدُا

Saya tidak akan menghapus namamu selamanya.

Kedua hadits ini disebutkan dalam kitab Shahih Bukhori dan Muslim.Taqrir (penetapan) yang dilakukan oleh Nabi pada ketidakpatuhan sahabat Abu Bakar dan ali yang dilakukan karena melakukan adab dan tatakrama ini menunjukkan atas keunggulan hal itu.

KH Abd. Nashir Fattah
Rais Syuriah PCNU Jombang
Dihimpun oleh Sholehuddin SH dari pengajian Kitab Qurratul Ain Bimuhimmatid Din di masjid baiturrahman Jlopo Tebel Bareng yang diikuti oleh Pengurus MWCNU dan Ansor Kecamatan Bareng

Sumber http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=16433

Senin, 28 Desember 2009

Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.

Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Minggu, 27 Desember 2009

PROFIL GURU YANG IDEAL

Bagaimana sebenarnya sosok guru yang ideal itu?. Banyak di antara kita mungkin masih bingung atau rancu dengan istilah guru yang ideal. Kalau menurut saya, profil guru ideal dapat diartikan dengan melihat berbagai sudut pandang yang berbeda. Secara konseptual guru yang diharapkan adalah sosok guru yang ideal diidamkan oleh setiap pihak yang terkait. Berikut akan dijabarkan profil guru yang ideal dilihat dari berbagai sudut pandang:

1. Dilihat dari sudut pandang siswa, guru ideal adalah guru yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi belajar, sumber keteladanan, ramah dan penuh kasih sayang. Guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan. Kalau kita mencermati kata keteladanan, kita pasti ingat dengan istilah guru yaitu digugu lan ditiru. Maksudnya, seorang guru seyogyanya harus dapat menjadi teladan, memberi contoh yang baik bagi murid-muridnya dan lingkungan masyarakat pada umumnya. Sebagai teladan guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur bagi anak didik dan masyarakat. Guru ideal adalah guru yang tidak materialistis. Artinya guru dalam perlakuannya terhadap anak didik tidak membedakan murid yang kaya dan miskin. Selain itu guru juga tidak pilih kasih dan obyektif dalam segala hal, dapat menjawab pertanyaan secara gamblang, jelas dan mudah diterima. Guru dalam penampilannya rapi, tidak lusuh, tapi juga tidak terlalu berlebihan sehingga murid merasa nyaman saat melihatnya. Sedikit saja guru berbuat yang tidak baik atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri.

2.Dari sudut pandang orang tua, guru yang diharapkan adalah sosok yang dapat menjadi mitra pendidik bagi siswa. Di sini orang tua memiliki harapan pada guru agar mereka dapat menjadi orang tua kedua di sekolah. Selain itu, guru ideal bagi orang tua yaitu guru yang dapat berkomunikasi baik dengan orang tua mengenai perkembangan prestasi belajar anak didik dan juga dapat memberikan solusi atau jalan keluar bagi anak didik yang mengalami masalah atau problem dalam belajar, sosialisasi dengan teman, adaptasi dengan lingkungan dan juga masalah perkembangan anak. Orang tua merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat akan melihat dan menilai perbuatan guru, bagaimana guru meningkatkan kualitas layanan pendidikannya dan bagaimana guru memberi arahan serta dorongan kepada peserta didiknya.

3. Sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah, guru yang ideal yaitu guru yang dapat dituntut untuk profesional dan proposional sebagai unsur penunjang kebijakan pemerintah terutama di bidang pendidikan. Guru yang profesional adalah guru yang dapat menempatkan dirinya pada profesinya. Guru adalah orang yang profesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusi pendidika yang berwenang. Mereka dididik secara khusus memperoleh kompetensi sebagai guru, yaitu meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian, serta pengalaman dalam bidang pendidikan. Kompetensi mengacu pada kemampuan menjalankan tugas-tugas pelayanan pendidikan secara mendiri. Kemampuan yang dimaksud berbentuk perbuatan nampak, yang dapat diamati, dan dapat diukur. Perbuatan yang nampak tersebut didasari antara lain oleh pengetahuan, asas, konsep, prosedur, teknik, keputusan, pertimbangan, wawasan, sikap serta sifat-sifat pribadi. Selain itu dilihat dari tingkat pengetahuan, guru hendaknya memiliki wawasan yang luas, mampu menguasai semua metode pembelajaran yang secara psikologis dapat diterima muridnya. Seorang guru mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Guru tidak hanya dituntut mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek keterampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengajarkan dan mendidik hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain).

4. Dari segi budaya, guru merupakan subyek yang berperan dalam proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam pelestarian nilai-nilai budaya. Hal ini berarti, guru yang ideal adalah guru yang dapat mewariskan dan menjaga nilai-nilai budaya bangsa kepada anak didiknya. Dan secara otomatis guru tersebut hendaknya dalam dirinya juga tertanam nilai-nilai budaya bangsa yang luhur. Seorang guru dalam memberikan ilmu kepada muridnya , dituntut untuk memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya. Dengan kata lain, seorang guru harus konsekuen serta konsisten dalam menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan, dan perintah dengan amal perbuatannya sendiri.

5. Secara umum, guru ideal adalah guru yang memiliki keberdayaan mewujudkan kinerja yang dapat mewujudkan fungsi dan peranannya secara optimal. Perwujudan tersebut tercermin melalui keunggulannya dalam mengajar, hubungan dengan siswa, hubungan sesama guru, pihak lain, sikap dan keterampilan profesionalnya. Profesionalisme guru hendaknya dapat ditunjukan oleh lima unjuk kerja, yaitu keinginan berperilaku standar ideal, memelihara profesi, mengembangkan profesionalitas serta meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilannya, mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta bangga terhadap profesinya. Semua penampilan itu dapat terwujud apabila didukung kompetensi yang meliputi kompetensi intelektual, sosial, pribadi, moral-spiritual, fisik, dan sebagainya.